INFORMED CONSENT
1. Apakah
informed consent itu?
Informed
consent atau persetujuan tindakan
medis/kedokteran adalah
§ Peraturan
Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008.
Persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat, setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien.
§ Konsil
Kedokteran Indonesia.
Pernyataan sepihak pasien atau yang
sah mewakilinya, yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi,
setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau
penolakan.
§ Sofwan
Dahlan.
Pernyataan sepihak oleh pasien, atau
dalam hal pasien tidak berkompeten oleh orang yang berhak mewakilinya, yang
isinya berupa persetujuan kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis
sesudah orang tersebut diberi informasi secukupnya mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan.
Apabila
dicermati pada definisi dari Permenkes, dan KKI, maka dapat disimpulkan bahwa
persetujuan oleh keluarga terdekat atau yang sah mewakilinya adalah merupakan
sebuah pernyataan alternatif (menggunakan kata “atau”), padahal sebenarnya
tidak demikian. Persetujuan oleh keluarga tersebut seharusnya bersifat
kondisional, artinya berlaku hanya apabila ada persyaratan tertentu, yaitu
apabila pasien tidak berkompeten ( belum dewasa, atau tidak sehat akal),
sehingga definisi dari Sofwan Dahlan rasanya lebih tepat.
Sedangkan
arti “berkompeten” adalah bahwa pasien tersebut mampu untuk melakukan perbuatan
hukum (dalam hal ini membuat pernyataan yang berakibat hukum).
Kriteria seseorang disebut berkompeten adalah
:
-
Telah dewasa yaitu
berumur 21 tahun atau lebih ( menurut hukum perdata), atau belum 21 tahun
tetapi sudah pernah menikah, dan
-
Sehat akalnya, yaitu
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental, dan tidak mengalami
penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
Konsil
Kedokteran Indonesia memberi patokan umur kompetensi adalah 18 tahun, yaitu
mengacu pada UU Perlindungan anak, namun Permenkes 290 tahun 2008 mengacu pada
ketentuan hukum perdata.
Informasi
yang diberikan harus memiliki kualitas dan kuantitas yang cukup bagi pasien
yang awam di bidang medis, untuk dijadikan landasan/ dasar untuk membuat
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan berupa persetujuan ataupun penolakan
tindakan medis yang diusulkan dokter.
2. Apa
latar belakang perlunya informed consent?
Perlunya informed consent dilatarbelakangi oleh hal-hal dibawah ini ( Sofwan
Dahlan, 2000) :
-
Tindakan medis
merupakan upaya yang penuh dengan ketidak-pastian, dan hasilnyapun tidak dapat
diperhitungkan secara matematis.
-
Hampir semua tindakan
medis memiliki risiko, yang bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi.
-
Tindakan medis tertentu
sering diikuti oleh akibat ikutan yang sifatnya tidak menyenangkan bagi pasien.
Sebagai contoh, operasi pengangkatan rahim pasti akan diikuti oleh kemandulan.
-
Semua risiko tersebut
jika benar-benar terjadi akan ditanggung dan dirasakan sendiri oleh pasien,
sehingga sangatlah logis bila pasien sendirilah yang paling utama untuk
dimintai persetujuannya.
-
Risiko yang terjadi
ataupun akibat ikutannya sangat mungkin sulit atau bahkan tidak dapat
diperbaiki.
-
Semakin kuatnya
pengaruh pola hidup konsumerisme, walaupun harus diingat bahwa otonomi pasien
dibatasi oleh otonomi profesi.
3. Apakah
landasan dari informed consent?
a. Landasan
Filosofis
Adanya doktrin “ A man is the master of his own body” yang bersumber pada hak
asasi manusia, yaitu “ the right to self
determination”, atau hak untuk menentukan nasibnya sendiri, adalah landasan
filosofis dari informed consent.
Berdasarkan doktrin tersebut
tindakan apapun yang sifatnya adalah offensive
touching (termasuk tindakan medis) harus mendapat persetujuan lebih dahulu
dari yang memiliki tubuh. Sehingga tindakan medis tanpa informed consent secara filosofis dianggap melanggar hak, meskipun
tujuannya baik serta demi kepentingan pasien.
b. Landasan
Etika
Landasan etika dari informed consent adalah 4 prinsip dasar
moral, yaitu :
o Beneficence
o Non maleficence
o Autonomy
o Justice
Dalam hal ini informed consent adalah perwujudan dari prinsip autonomy
c. Landasan
Hukum
Peraturan perundangan yang menjadi
landasan hukum bagi pelaksanaan informed
consent adalah :
o UU
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (pasal 45)
Non- selective
( berlaku untuk semua tindakan medis)
Harus
didahului dengan penjelasan yang cukup sebagai landasan bagi pasien untuk
mengambil keputusan
Dapat
diberikan secara tertulis atau lisan ( dapat dengan ucapan ataupun anggukan
kepala).
Untuk
tindakan medis berisiko tinggi harus diberikan secara tertulis.
Dalam
keadaan emergensi tidak diperlukan informed
consent, tetapi sesudah sadar wajib diberitahu dan diminta persetujuan.
Ditandatangani
oleh yang berhak
Disini
yang dimaksud tindakan medis berisiko tinggi adalah tindakan bedah dan tindakan invasif lainnya.
o UU
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 56
o UU
No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit, pasal 32 (k)
o Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 290/MENKES/PER/III/ 2008
4. Apakah
fungsi informed consent?
Pada hakekatnya informed consent berfungsi sebagai :
a. Bagi
pasien, merupakan media untuk menentukan sikap atas tindakan medis yang
mengandung risiko atau akibat ikutan.
b. Bagi
dokter, merupakan sarana untuk mendapatkan legitimasi (pembenaran, atau
pengesahan) atas tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien, karena tanpa informed consent maka tindakan medis
dapat berubah menjadi perbuatan melawan hukum. Dengan informed consent maka dokter terbebas dari tanggungjawab atas
terjadinya risiko atau akibat ikutan, karena telah diinformasikan didepan,
sedangkan apabila tanpa informed consent
maka risiko dan akibat ikutan menjadi tanggungjawab dokter.
Meskipun
demikian, jangan disalah artikan bahwa informed
consent dapat melepaskan dokter dari tanggungjawab hukum atas terjadinya
malpraktik, sebab malpraktik adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan
mutu tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar profesi.
5. Tindakan
medis apa saja yang memerlukan informed
consent?
Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008,
maka semua tindakan medis/kedokteran harus mendapatkan persetujuan dari pasien,
jadi sifatnya adalah non-selective.
Hanya disebutkan bahwa tindakan medis yang berisiko tinggi harus mendapatkan informed consent secara tertulis ( written consent).
Pada keadaan emergensi atau
penyelamatan jiwa maka tidak diperlukan informed
consent. Dalam konteks praktik dilapangan informed consent tetap merupakan hal yang penting, namun tidak
boleh menjadi penghalang bagi tindakan penyelamatan jiwa.
Sedangkan pada kasus pasien
anak-anak, tindakan medis tetap dapat dilakukan oleh dokter walaupun tanpa
persetujuan orang tua dengan syarat :
a. Tindakan
medis yang akan dilakukan harus merupakan tindakan medis terapetik, bukan
eksperimental.
b. Tanpa
tindakan medis tersebut, anak akan mati, dan
c. Tindakan
medis tersebut memberikan harapan atau peluang pada anak untuk hidup normal,
sehat dan bermanfaat.
6. Siapa
yang bertanggungjawab untuk memberikan informasi? Apa isi/materi informasinya,
dan bagaimana cara memberikan informasi tersebut?
Tanggungjawab memberikan informasi
:
Harus difahami sungguh-sungguh,
bahwa :
a. Tanggungjawab
memberikan informasi sebenarnya berada pada dokter yang akan melakukan tindakan
medis, karena hanya dia sendiri yang tahu persis tentang masalah kesehatan
pasien, hal-hal yang berkaitan dengan tindakan medis tersebut, dan tahu
jawabannya apabila pasien bertanya.
b. Tanggungjawab
tersebut memang dapat didelegasikan kepada dokter lain, perawat, atau bidan,
hanya saja apabila terjadi kesalahan dalam memberikan informasi oleh yang
diberi delegasi, maka tanggungjawabnya tetap pada dokter yang memberikan
delegasi.
Oleh
karena itu, hendaknya para dokter hanya mendelegasikan jika sangat terpaksa.
Dan itupun hanya kepada tenaga kesehatan yang tahu betul tentang problem
kesehatan pasien, sehingga dapat memberikan jawaban yang tepat apabila ada
pertanyaan dari pasien.
Dibeberapa
negara maju, tanggungjawab memberikan informasi ini merupakan tanggungjawab
yang tidak boleh didelegasikan. ( non-delegable-duty)
Materi/isi
informasi yang harus disampaikan :
a. Diagnosis
dan tata cara tindakan medis/kedokteran tersebut
b. Tujuan
tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan
c. Alternatif
tindakan lain, dan risikonya
d. Risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis
terhadap tindakan yang akan dilakukan
f. (perkiraan
biaya)
Cara
menyampaikan informasi :
Informasi
cukup disampaikan secara lisan, supaya bisa terjalin komunikasi dua arah
(tanya-jawab). Bisa ditambah dengan alat bantu, brosur, atau menggunakan media
informasi lain. Menggunakan bahasa yang sesuai dengan kondisi pasien, sehingga
mudah dipahami oleh pasien. Sebelum penjelasan ditutup, buka sesi tanya-jawab,
dan pastikan pemahaman pasien dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Penjelasan
yang diberikan tersebut, dicatat dalam berkas rekam medis pasien, dengan
mencantumkan, tanggal,waktu, dan nama yang menerima informasi, disertai
tandatangannya.
Dalam
hal pasien menolak untuk menerima informasi, maka dokter dapat memberikan
informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga
kesehatan lain sebagai saksi (Permenkes 290 th 2008).
7. Siapa
yang berhak untuk memberikan informed
consent, dan bagaimana cara memberikannya?
Hak untuk memberikan informed consent adalah sebagai berikut
:
a. Untuk
pasien dewasa dan sehat akal adalah pasien yang bersangkutan.
b. Untuk
pasien anak-anak adalah keluarga terdekat atau walinya
c. Untuk
pasien tidak sehat akal (walau ia sudah dewasa) adalah keluarga atau wali, atau
kuratornya.
d. Untuk
pasien yang sudah menikah adalah pasien yang bersangkutan, kecuali untuk
tindakan medis tertentu harus disertai persetujuan pasangannya, yaitu untuk
tindakan yang mempunyai pengaruh bukan saja terhadap pasien, namun juga
terhadap pasangannya sebagai satu kesatuan yang utuh, dan akibatnya irreversible, Sebagai contoh adalah
operasi tubectomi atau vasectomi, dalam hal operasi tersebut,
maka bukan saja si istri atau si suami saja yang tidak akan mempunyai
keturunan, tetapi adalah keduanya sebagai suatu pasangan. Pengecualian ini
tidak berlaku untuk tindakan yang sifatnya terapetik karena penyakit pasien.
Sebagai contoh adalah operasi mengangkat rahim karena kanker rahim, maka pasien
tidak perlu minta persetujuan suaminya untuk memberikan informed consent.
Cara
pasien memberikan informed consent :
Informed consent
dapat diberikan oleh pasien atau keluarganya jika pasien tidak berkompeten
melalui tiga macam cara, yaitu :
a. Terucap
( oral consent)
b. Tersurat
( written consent)
c. Tersirat
( implied consent)
Semua
cara tersebut sah, hanya saja untuk tindakan medis berisiko tinggi, harus
diberikan secara tersurat/tertulis.
Untuk
informed consent yang tidak tertulis,
dibatasi untuk tindakan-tindakan medis yang :
a. Risikonya
kecil
b. Ada
saksi ( misalnya perawat, bidan, dll) yang melihat proses pemberian informasi.
c. Dicatat
dalam rekam medis pasien dengan mencantumkan
tanggal, waktu, dan nama penerima informasi serta saksi.
8. Apakah
materi dari written consent?
Redaksinya pada hakekatnya adalah
bebas, sesuai ketentuan institusi kesehatan yang mengeluarkannya, namun harus
mengandung hal-hal sebagai berikut :
a. Pengakuan
atau pernyataan oleh pasien atau walinya bahwa :
-
Ia telah diberi
informasi oleh dokter.....
-
Ia telah memahami
sepenuhnya informasi tersebut
-
Ia, setelah memperoleh
informasi dan memahami, kemudian memberikan persetujuan kepada
dokter........untuk melakukan tindakan medis.
b. Tandatangan
pasien atau walinya
Tandatangan dokter yang memberi
informasi mestinya tidak perlu mengingat informed
consent adalah sebuah pernyataan sepihak dari pasien. Demikian pula
tandatangan saksi. Sebagai contoh adalah kwitansi yang merupakan pernyataan
sepihak dari seseorang yang telah menerima uang, maka cukup yang bersangkutan
yang menandatangani.
9. Apakah
syarat sahnya informed consent, dan
bagaimana pembatalannya?
Syarat sahnya informed consent :
a. Voluntary (
suka rela, tanpa unsur paksaan)
b. Unequivocal
( dengan jelas dan tegas)
c. Conscious
( dengan kesadaran )
d. Naturally
( sesuai kewajaran )
Voluntary
maknanya bahwa pernyataan tersebut harus bebas dari tiga F, yaitu force (paksaan), fear ( rasa takut) dan fraud
( diperdaya). Sedangkan Naturally
maknanya sesuai kewajaran disrtai iktikad baik, serta isinya tidak mengenai
hal-hal tang dilarang oleh hukum. Oleh sebab itu tidak dibenarkan adanya
kalimat yang menyatakan bahwa ....”pasien tidak berhak menuntut atau menggugat
jika terjadi sesuatu yang merugikannya”.
Pembatalan
informed consent :
Informed consent
dapat dibatalkan :
a. Oleh
pasien sendiri sepanjang tindakan medis tersebut belum dilakukan, atau secara
medis tidak mungkin lagi untuk dibatalkan.
b. Dalam
hal informed consent diberikan oleh
wali atau keluarga terdekatnya, maka sepatutnya pembatalan tersebut adalah oleh
anggota keluarga yang bersangkutan, atau oleh anggota keluarga lainnya yang
mempunyai kedudukan hukum lebih berhak untuk bertindak sebagai wali.
Dalam hukum perdata, suami atau isteri
dari pasien lebih berhak dari pada anak atau orang tuanya.
RANGKUMAN
Materi ini telah
membahas tentang informed consent.
Dimulai dari pengertian informed consent, latar belakang perlunya informed consent, landasan filosofis,
landasan etika, dan landasan hukum. Lebih lanjut dibahas fungsi informed consent, tindakan apa saja yang
memerlukan informed consent, siapa
yang bertanggung jawab untuk memberikan informasi, apa materi informasinya dan
bagaimana cara penyampaian informasi tersebut. Disisi lain dibahas pula siapa
yang berhak untuk memberikan informed
consent, dan bagaimana caranya. Apakah yang harus ada dalam informed consent tertulis, apakah syarat
agar informed consent tersebut sah,
dan bagaimana pembatalan sebuah informed
consent.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guwandi
J,( 1996). Dokter, Pasien, dan Hukum, 1akarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Guwandi
J, ( 2004). Medical Law, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
3. Hanafiah
J; Amir A, ( 2007 ). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
4. Helm
A, ( 2003 ). Malpraktik Keperawatan, Menghindari masalah hukum, jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
5. Sofwan
Dahlan ( 2000). Hukum Kesehatan, Rambu-rambu bagi profesi dokter, Semarang :
Badan Penerbit Universits Diponegoro.
SENARAI
1. Tindakan
offensive : bersifat masuk kedalam
2. Tindakan
invasive : tindakan yang mempengaruhi keutuhan jaringan
3. Komplikasi
: akibat ikutan
4. Tubectomi,
dan vasectomie : tindakan sterilisasi untuk tujuan KB
5. Malpraktik
: pelaksanaan profesi yang salah
6. Irreversible
: menetap, tidak dapat kembali seperti semula
izin copas buat tugas yaa,mkasih sblumnya :)
BalasHapusKalau A dalam keadaan sakit serius di rumah sakit dan tidak ada keluarga nya. ada B yang bukan hubungan keluarga nya bersedia menandatangani surat perjanjian operasi A apa salah atau benar...??
BalasHapus